Kisah Omjay guru blogger indonesia
Guru Blogger Indonesia: Ketika Ruang Kelas Tak Lagi Berbatas Dinding
Oleh: Wijaya Kusumah (Omjay)
Guru Blogger Indonesia
https://wijayalabs.com
Guru yang berhenti menulis perlahan kehilangan suaranya, dan ketika suara guru hilang, arah pendidikan pun mudah ditentukan oleh mereka yang tak pernah mengajar.
Tahun demi tahun dunia pendidikan terus berubah. Kurikulum berganti, teknologi melaju cepat, dan cara belajar anak-anak tak lagi sama seperti dulu. Namun satu hal yang seharusnya tidak berubah: peran guru sebagai penyalur nilai, pengetahuan, dan inspirasi. Di tengah perubahan itulah saya menemukan satu jalan pengabdian yang tak pernah saya rencanakan sejak awal—menjadi guru blogger.
Saya adalah guru biasa. Sejak 1992 mengajar Informatika di SMP Labschool Jakarta. Setiap hari saya berdiri di depan kelas, mengajar logika, teknologi, dan etika digital. Namun saya sadar, ruang kelas punya batas. Ketika bel berbunyi, pelajaran usai. Ketika murid pulang, proses belajar seakan berhenti. Dari kegelisahan itulah saya mulai menulis.
Awalnya hanya sekadar catatan kecil. Tentang pengalaman mengajar, tentang murid-murid yang menginspirasi, tentang kebijakan pendidikan yang sering membuat guru bingung di lapangan. Tulisan-tulisan itu saya simpan di blog pribadi yang kini dikenal sebagai wijayalabs.com. Saya tidak pernah menyangka, dari blog sederhana itulah lahir identitas yang kemudian disematkan banyak orang kepada saya: Guru Blogger Indonesia.
Menulis: Jalan Sunyi Seorang Guru
Bagi saya, menulis bukan soal ingin terkenal. Menulis adalah cara guru berpikir lebih jernih. Ketika kita menulis, kita dipaksa merenung, mengolah pengalaman, dan jujur pada diri sendiri. Banyak guru merasa tidak punya waktu menulis, padahal yang sering kurang bukan waktu, melainkan keberanian memulai.
Saya selalu mengatakan kepada rekan-rekan guru: menulislah sebelum tidur. Tidak perlu panjang, tidak harus sempurna. Yang penting konsisten. Dari kebiasaan kecil itulah lahir ribuan tulisan yang kini tersimpan rapi di blog saya. Tulisan tentang literasi digital, refleksi Hari Guru, kritik kebijakan pendidikan, kisah perjalanan sebagai pendidik, hingga cerita-cerita kemanusiaan yang menyentuh hati.
Di era digital, tulisan guru adalah jejak peradaban. Apa yang kita alami hari ini, jika tidak ditulis, akan hilang begitu saja. Padahal pengalaman guru di lapangan sering jauh lebih jujur daripada laporan resmi yang penuh angka dan istilah teknis.
Blog sebagai Ruang Kelas Kedua
Saya percaya, hari ini setiap guru memiliki dua ruang kelas: kelas fisik dan kelas digital. Blog adalah ruang kelas kedua saya. Di sana, saya mengajar tanpa papan tulis, tanpa spidol, tanpa batas usia dan wilayah. Siapa pun bisa belajar, berdiskusi, bahkan berbeda pendapat.
Lewat blog, saya melihat bagaimana tulisan bisa menggerakkan orang. Banyak guru mulai berani menulis setelah membaca artikel saya. Banyak yang awalnya ragu, merasa tulisannya tidak layak dibaca. Padahal justru dari tulisan sederhana itulah lahir kesadaran kolektif bahwa guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, tetapi pemikir dan agen perubahan.
Dari semangat itulah kemudian lahir berbagai komunitas belajar menulis guru, termasuk Komunitas Belajar Menulis Nasional (KBMN). Saya menyaksikan sendiri bagaimana guru-guru yang awalnya “tak percaya diri” berubah menjadi penulis produktif, bahkan artikelnya dimuat di media nasional.
Guru dan Literasi Digital
Menjadi guru di era digital bukan pilihan, tetapi keharusan. Anak-anak kita hidup di dunia algoritma, kecerdasan buatan, dan banjir informasi. Jika guru gagap teknologi dan alergi menulis, maka jarak dengan murid akan semakin lebar.
Namun literasi digital bukan hanya soal bisa menggunakan aplikasi atau AI. Literasi digital adalah kemampuan berpikir kritis, beretika, dan bertanggung jawab di ruang digital. Melalui blog, saya berusaha menanamkan nilai itu—bahwa teknologi harus berpihak pada kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Saya juga selalu mengingatkan, jangan sampai guru tergoda jalan pintas. Menulis bukan untuk mengejar viral, bukan untuk sekadar mencari pujian. Menulis adalah proses belajar seumur hidup. Bahkan disertasi doktoral saya pun lahir dari kegelisahan yang sama: bagaimana blog kolaboratif bisa meningkatkan keterampilan menulis dan berpikir siswa.
Guru Tidak Boleh Diam
Saya sering gelisah melihat guru hanya mengeluh di ruang tertutup, di grup pesan singkat, tanpa pernah menuangkan gagasannya ke ruang publik. Padahal, jika guru diam, suara pendidikan akan didominasi oleh mereka yang tidak pernah mengajar di kelas.
Melalui blog dan tulisan opini, guru bisa menyampaikan realitas pendidikan dari sudut pandang paling jujur: pengalaman langsung. Media seperti Melintas.id menjadi ruang penting agar suara guru tidak tenggelam oleh jargon dan kepentingan sesaat.
Menulis adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk berpikir, bersikap, dan bertanggung jawab atas kata-kata sendiri.
Penutup: Menjadi Guru yang Dikenang Zaman
Saya tidak tahu sampai kapan akan mengajar di kelas. Namun saya berharap, selama tulisan saya masih dibaca, selama ada guru yang tergerak menulis, maka pengabdian saya belum selesai.
Menjadi guru blogger bukan tentang teknologi, tetapi tentang niat berbagi. Tentang meninggalkan jejak kebaikan di dunia digital. Tentang memastikan bahwa suara guru tetap hidup, jujur, dan berpihak pada pendidikan yang memanusiakan manusia.
Menjadi guru di era digital berarti berani berpikir, menulis, dan berbagi; sebab dari kata-kata yang jujur, lahir perubahan yang tak lekang oleh zaman.
Jika hari ini Anda seorang guru, mulailah menulis. Karena kelak, bukan hanya murid yang akan mengenang Anda, tetapi juga zaman.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Guru blogger Indonesia
Blog https://wijayalabs.com

Komentar
Posting Komentar