Terpuruknya ICT dan Kompetensi Edukasi Indonesia*
Tahun 2016 ini susunan sepuluh orang terkaya didunia tidak banyak berubah, lima diantaranya masih dikuasai oleh para milyuner IT, yaitu : Bill Gates (Microsoft), Carlos Slim (Telecom), Jeff Bezos (Amazon), Mark Suckerberg (Facebook), dan Larry Ellison (Oracle). Bisa diartikan setengah orang terkaya didunia adalah dari orang yang mendulang uang didunia IT.
Dua puluh tahun terakhir ini dunia berubah oleh IT, mengakhiri era Modernisasi menjadi era Informasi. IT menjadi sumber kekayaan yang baru, sumber minyak yang baru, sumber emas yang baru dan sumber kekuasaan yang baru. Sumber daya kekayaan dan kekuasaan yang baru ini sudah tidak lagi menggunakan Sumber Daya Alam, seperti yang bangsa ini bangga-banggakan dengan kekayaan alamanya. Sumber daya yang satu ini hanya mengandalkan satu hal, otak kita sendiri… Brainware.
Bangsa yang menguasai IT akan mengambil porsi Power didunia, siapa yang mengabaikannya akan terlibas dan tertinggal.
Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk mengangkat IT dalam sebuah bangsa?
Fasilitas? Infrastruktur tercanggih? Sistem termutakhir?
Jawabannya seperti telah disebutkan diatas, sumber daya IT hanya mengandalkan satu hal, yaitu Brainware… otak kita. Dan yang bertanggung jawab terhadap otak kita adalah Sistem Pendidikan kita. Dalam hal ini adalah Kementrian Pendidikan kita, bukan Kemenkominfo.
Lalu sejauh mana langkah Kementrian Pendidikan kita merespon akan pergerakan dan kompetisi dunia ini?
Sebelumnya harus dimengerti policy yang dilakukan pemerintah tiap negara berbeda-beda terhadap ICT, yaitu :
1. ICT as Stand Alone Subject
2. ICT as Media and Communication tools
3. ICT as Pedagogy Integration
Ketiga policy ini pada negara-negara dianggap sebagai sebuah level, sejauh mana kemajuan ICT dalam pendidikannya. Yang pertama adalah level Stand Alone, ini adalah langkah paling awal, karena lebih mudah dilakukan. Dilakukan secara bertahap, sampai seluruh sekolah telah mengajarkan ICT dalam standar kompetensi rata-rata nasional telah tercapai. Yang artinya standar fasilitas pendidikan ICT yang disebut LCR (Learner per Computer Ratio) telah tercapai.
Setelah LCR tercapai bisa masuk tahap kedua yaitu sebagai Media and Communication Tools. Disini tingkat keberhasilannya bukan lagi LCR tapi diukur oleh ratio penggunaan CAI (Computer Aid Instruction) dan selanjutnya IAI (Internet Aid Instruction). Setelah mencapai sebuah angka target oleh pemerintah maka bisa dilanjutkan menjadi level Pedagogy Integration.
Dilevel ini terjadi resistensi oleh guru-guru, tingkat keberhasilannya masih diperdebatkan di negara-negara maju antara parameter kuantitas jumlah guru yang mengaplikasikannya atau kualitas pedagogi. Dibeberapa negara maju baru-baru ini telah merelease sebuah riset tentang diragukannya tingkat keberhasilan ICT dalam integrasi pendidikan. Nilai dari siswa pengguna integrasi ICT dan bukan pengguna integrasi ICT menunjukan di banyak negara integrasi ICT justru memiliki nilai yang sedikit lebih kurang (kecuali Iran). Riset itu berargumen bahwa pengguna integrasi ICT datang dari sekolah dengan sistem pendidikan, fasilitas dan intake yang lebih baik dari yang tidak menggunakan ICT, jadi seharusnya kesimpulannya mungkin lebih buruk dari itu, namun riset masih dilakukan dan akan kita bahas efek integrasi ini diartikel yang berbeda.
Mari kita lihat Indonesia ada dilevel mana tingkat ICT dalam pendidikannya.
Dalam tahap awal, Indonesia seharusnya dalam level ICT sebagai sebuah Objek, namun dalam kurikulumnya terbaru hal ini dihapus dengan alasan tak berdasar dan mengkhawatirkan. Pemerintah mengaku telah mengupgrade tingkat pendidikannya ke level terkini, yaitu ICT Integrasi. Pertanyaannya pantaskah pemerintah melakukan hal ini?
Kita lihat dari keberhasilan level satu berbicara mengenai angka LCR. Targetnya tentu sebuah angka ideal 1:1, yaitu setiap siswa memiliki satu computer disekolahnya sebagai nilai rata-rata di bangsa itu. Saya ambil contoh beberapa sebagai patokan; Australia 2:1, Singapore 4:1, Jepang 7:1, Malaysia 12:1, Thailand 11:1, China 14:1, Iran 83:1, India 89:1, Srilanka 98:1, dan berapa Indonesia?
136:1.
Angka itu menunjukan Indonesia terpuruk pada posisi juru kunci, selevel dengan rata-rata nilai dari negara tertinggal. Apakah ini tidak mengusik anda? Angka ini jelas akan membuat anda gelisah bila masih ada sedikit rasa nasionalisme dan cinta bangsa ini.
Tanpa melewati nilai satu banding sepuluh-duapuluh kita tidak pantas masuk dalam tahap selanjutnya, ICT sebagai media dan komunikasi pembelajaran. Bayangan kita ICT sebagai media pembelajaran masih terlalu kerdil dengan membatasi Laptop dan Projector dalam kelas, ini jauh dari itu. Lalu apa alasan pemerintah berani memajukan ICT sebagai level integrasi? Dimana CAI dan IAI dalam kelas-kelas sebagai syarat masuk dalam level integrasi?
Pendidikan kita memberikan target visi sebuah generasi emas sebagai tantangan global. Tapi apakah Generasi Emas berkarakter dan akhlak mulia ini dapat berkompetisi dalam era kekuasaan digital? Saya khawatir, anak-anak kita menjadi anak-anak yang jujur, sopan dan menyenangkan (visi Generasi emas berkarakter) tapi mereka pengangguran, miskin dan tertindas. Hancur oleh ekspansi kekuatan kapitalis digital…
Semoga…mata pelajaran TIK kembali berada dalam struktur kurikulum sekolah kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Menulis di Blog